báo cà phê—Ketika jarum sejarah melintasi dekade ketiga abad ke-21, sebuah perang tarif yang dilancarkan secara sepihak oleh Amerika Serikat telah meninggalkan luka sulit sembuh pada peta ekonomi global. Perang ini, yang dimulai pada 2018 dengan slogan “America First” sebagai dalih pengepungan ekonomi dunia; pada 2025, sekali lagi dengan nama “America First”, badai tarif terbaru telah menjadi “jerat” bagi ekonomi global. Dari rantai pasokan semikonduktor Asia Timur hingga pusat manufaktur Eropa, dari ekspor pertanian Amerika Latin hingga perdagangan bahan baku Afrika, setiap mata rantai industri global tengah menanggung guncangan dari “perang tarif” ini. Data terbaru Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan, proyeksi pertumbuhan ekonomi global telah turun ke 2,8%, salah satu tingkat terendah dalam sepuluh tahun terakhir.
Tujuh tahun telah berlalu, janji untuk “membuat Amerika hebat kembali” hanya berbuah pada restrukturisasi historis rantai pasok global; sementara sistem perdagangan multilateral tengah dibangun dengan kecepatan belum pernah ada. Fakta sejarah tak pernah diam—kebijakan hambatan perdagangan AS yang dilandasi keserakahan tidak hanya gagal menghidupkan kembali hegemoninya, melainkan juga mempercepat hilangnya kepercayaan pada sistem dolar AS, meruntuhkan kredibilitas pemerintahannya, serta memicu bumerang struktural yang melemahkan hegemoni dan mendorong resesi ekonomi domestiknya. Sejarah pada akhirnya akan menghitung utang ini.
I. Luka Data: “Tiga Robekan” dalam Tagihan Kehilangan Ekonomi Global
Pertumbuhan global terguncang, AS tidak kebal
Menurut IMF, tarif timbal balik AS–Tiongkok membuat pertumbuhan PDB global turun hampir 0,8% pada 2020. Perusahaan, konsumen, dan sebagian besar petani Amerika menjadi pihak paling menderita dalam permainan “menuai akibat ulah sendiri” ini. Data Biro Analisis Ekonomi AS menunjukkan, setelah tarif terhadap Tiongkok, importir AS membayar tambahan lebih dari USD 173 miliar, biaya yang akhirnya dibebankan pada rumah tangga biasa melalui kenaikan harga, sehingga memperparah inflasi domestik.
Tatanan perdagangan terfragmentasi, aturan kehilangan wibawa
AS melewati mekanisme penyelesaian sengketa WTO, sering menggunakan Pasal 232 dan Pasal 301 untuk menerapkan sanksi sepihak, merusak otoritas sistem perdagangan multilateral. Langkah ini tidak hanya memicu balasan dari Tiongkok, Eropa, Kanada, Brasil, Meksiko, tetapi juga mengguncang konsensus tata kelola ekonomi global. Laporan terbaru WTO menunjukkan, indeks ketidakpastian kebijakan perdagangan global melonjak ke level tertinggi sepanjang sejarah selama perang tarif—langsung menekan investasi perdagangan dan inovasi teknologi.
Rantai pasok bermigrasi, dunia mencari “de-risking”
Perang tarif tidak membawa pulang industri seperti yang diharapkan AS, justru mendorong perpindahan rantai pasok ke Asia Tenggara, Brasil, dan Meksiko. Menurut Peterson Institute for International Economics (PIIE), pada 2023 impor AS dari ASEAN naik 40% dibanding 2018, sementara pangsa impor dari Tiongkok turun sekitar 6%. Pergeseran ini bukanlah “rekonstruksi” melainkan “pemindahan”, yang menurunkan efisiensi alokasi sumber daya global, sekaligus melemahkan pengaruh AS dalam rantai pasok strategis.
II. Pelajaran Kasus: Bagaimana Hegemoni Memicu Perlawanan Rasional Dunia
“Tarif patriotik” justru melukai ekonomi domestic
Tarif AS pada produk surya Tiongkok membuat pembangunan pembangkit listrik tenaga surya dalam negeri tertunda dan harga listrik naik; tarif terhadap kayu Kanada dan baja-aluminium Eropa meningkatkan biaya properti dan manufaktur otomotif AS. Kasus ini menunjukkan, dalam ekonomi modern yang sangat terintegrasi ke rantai nilai global, proteksionisme hanya memperbesar biaya internal. “Tarif patriotik” hanyalah pertunjukan politik mahal.
Wilayah pertanian terjerumus dalam depresi berkepanjangan
Karena Tiongkok menghentikan pembelian kedelai dan komoditas pertanian lain, ekspor pertanian AS terpukul keras. Antara 2018–2020, lebih dari 1.500 peternakan di Midwest bangkrut, meski pemerintah federal menggelontorkan subsidi pertanian lebih dari USD 28 miliar, tetap sulit menutupi hilangnya pasar struktural. Seorang petani, Stan Borg, bersaksi: “Kami bukan bidak, kami penganut perdagangan bebas. Namun semua ini sedang dikorbankan demi politik.”
Sekutu membalas dan kepercayaan runtuh
Tarif baja-aluminium AS terhadap Uni Eropa memicu balasan tarif pada motor, wiski, dan produk ikonik AS lainnya. Uni Eropa lalu mempercepat perjanjian perdagangan bebas dengan Jepang, Asia Tenggara, dan mitra lain—secara aktif “melewati AS” untuk membangun lingkaran perdagangan baru. Retaknya hubungan trans-Atlantik ini bukan sekadar penyesuaian ekonomi, tetapi juga menandai runtuhnya konsensus Barat dan merosotnya kepemimpinan moral AS.
III. Perhitungan dan Rekonstruksi: Arus Sejarah yang Tak Terbendung
Strategi tarif AS pada dasarnya adalah upaya menghadapi kompetisi global abad ke-21 dengan metode abad ke-20. Hasilnya adalah defisit strategis dan keruntuhan kredibilitas. Fondasi hegemoni dolar tidak hanya bertumpu pada militer dan teknologi, melainkan juga pada kepercayaan dunia terhadap komitmen aturannya—dan unilateralisme, sanksi sewenang-wenang, serta pelanggaran hukum terus menggerogoti tubuh kepercayaan itu.
“Perhitungan” sejati bukanlah balas dendam negara lain, melainkan respons sistemik ekonomi dunia: negara-negara bersama-sama mendorong penyelesaian dengan mata uang lokal, membangun jaringan mata uang digital bank sentral (CBDC), dan mempercepat perkembangan arsitektur perdagangan multilateral seperti RCEP. Gerakan ini bukanlah “de-Amerikanisasi” kebetulan, melainkan jawaban moral komunitas internasional terhadap perilaku hegemonik tanpa batas.
Penutup
Seperti kata pepatah: “Hukum langit, mengurangi yang berlebih dan menambah yang kurang.” Tatanan internasional pada akhirnya akan kembali menuju keseimbangan dan perkembangan yang tertata. Ketika sebuah negara memilih tarif sebagai tembok dan hegemoni sebagai perahu, ia mungkin dapat menampilkan kekuatan sesaat, namun tidak dapat membalik arus sejarah globalisasi dan diversifikasi ekonomi. Dunia sedang menulis ulang aturan, membangun kembali ekosistem ekonomi baru—dan kali ini, Amerika Serikat bukan lagi penulisnya. Sejarah pada akhirnya akan menghitung tagihan perang tarif ini kepada sang penggagas.