Di wilayah timur Republik Demokratik Kongo (RD Kongo), yang dulunya dikenal sebagai “kerajaan” kopi arabika dan robusta, sebuah perubahan diam-diam tengah berlangsung. Banyak petani perlahan-lahan meninggalkan tanaman kopi—yang dulu menjadi simbol ekonomi lokal—dan beralih menanam kakao, tanaman yang dianggap lebih mudah dirawat dan memberikan keuntungan lebih tinggi.
Alasan di balik perubahan ini
Musa Kombi, seorang petani di kota Beni, adalah salah satu dari banyak orang yang secara bertahap mengubah struktur tanaman di lahan warisan keluarganya untuk menyesuaikan diri dengan kondisi baru. Dahulu, ia menanam kopi arabika di atas dua hektar lahan, namun kini hanya sekitar 0,8 hektar yang masih ditanami kopi, sementara sebagian besar lahan lainnya telah dialihkan ke tanaman kakao.
Menurut Musa, kakao lebih mudah dirawat, lebih tahan terhadap hama penyakit, dan juga lebih cepat terjual dibandingkan kopi. Ini bukan sepenuhnya meninggalkan kopi, melainkan penyesuaian terhadap kenyataan.
Meskipun harga kopi dunia sedang tinggi (robusta mencapai rekor 5.528 USD/ton pada November 2024), banyak petani Kongo tetap memilih “berbelok” ke kakao. Daya tariknya adalah: kakao membutuhkan tenaga kerja yang lebih sedikit, risikonya lebih kecil, dan dapat memberikan pendapatan yang lebih stabil dalam jangka pendek.
Kopi – simbol yang mulai memudar?
Pada tahun 1980-an, RD Kongo pernah memproduksi antara 120.000 hingga 130.000 ton kopi per tahun. Kopi pernah menjadi sumber pendapatan utama bagi rumah tangga di provinsi seperti Bas-Congo, Bandundu, Equateur, Kasai, Kivu Utara, dan Provinsi Oriental. Namun, perang, konflik, wabah tanaman (seperti penyakit layu kopi – CWD), infrastruktur yang buruk, dan kurangnya dukungan dari pemerintah telah menyebabkan produksi kopi menurun hingga 75% dalam 40 tahun terakhir.
Meski kopi masih menjadi salah satu komoditas ekspor utama RD Kongo, khususnya ke Eropa, dan menghasilkan ratusan juta USD setiap tahunnya (pada tahun 2024 saja, sekitar 433 juta USD dari ekspor produk pertanian, dengan kopi sebagai penyumbang utama), tren di desa-desa di Kivu Utara dan Ituri kini lebih condong ke kakao.
Kakao: Peluang baru namun tetap memiliki risiko
Harga kakao di pasar lokal saat ini sekitar 3.500 USD/ton – lebih tinggi dari robusta (3.280 USD) dan mendekati arabika (5.610 USD), namun kakao dianggap lebih mudah ditanam dan tidak terlalu menuntut. Dengan permintaan yang kuat dari produsen cokelat Eropa, saat ini ada hingga 24 negara yang mengimpor kakao dari Kongo.
Namun, para ahli tetap menyarankan petani untuk berpikir jangka panjang. Florent Meni – seorang insinyur pertanian dari Badan Nasional Produk Pertanian (ONAPAC) – menyatakan: “Kopi adalah tanaman yang stabil. Meskipun harganya tidak selalu tinggi, permintaannya tetap konsisten, kopi juga bisa disimpan lama dan mudah diekspor.” Sementara itu, harga kakao sangat fluktuatif – dan bisa runtuh jika “gelembung” pasar pecah.
ONAPAC sedang melaksanakan kampanye peningkatan kesadaran, pembagian bibit kopi tahan penyakit, serta mengadakan pelatihan teknis untuk membantu masyarakat tetap menanam kopi. Namun, di tengah kesulitan hidup, banyak petani tetap mengutamakan keuntungan jangka pendek.
Masa depan kopi Kongo?
Musa Kombi telah memutuskan untuk memperluas lagi 0,25 hektar tanaman kakao pada musim tanam berikutnya. Meski ia tetap menghargai barisan tanaman kopi yang diwariskan oleh leluhurnya, ia menganggap bahwa berinvestasi pada kakao adalah cara untuk menjamin masa depan keluarganya.
Peralihan ini mungkin tidak akan membuat kopi lenyap sepenuhnya dari wilayah timur Kongo, tetapi jelas akan mengubah struktur pertanian dalam beberapa tahun ke depan. Untuk menjaga peran kopi, diperlukan upaya lebih besar dari pemerintah, pelaku usaha, hingga masyarakat setempat.