Beberapa waktu lalu ada sebuah video yang lagi viral. Banyak yang ngomongin isinya tentang wakil presiden kita Pak Gibran yang mengatakan bahwa beliau punya riwayat asam lambung tapi ternyata aman-aman saja ketika minum kopi dari Bondowoso. Aman.
Jadi untuk teman-teman yang punya asam lambung seperti saya minum kopi dari Ijen ini ternyata aman. Seketika perdebatan pun muncul. Ada yang setuju, ada yang bilang klaim itu menyesatkan.
Tapi pertanyaannya bukan di situ. Pertanyaan yang lebih penting adalah saat kita sibuk berdebat soal asam lambung dan kopi. Taukah kalian kalau harga kopi di tingkat petani sebenarnya tidak semahal segelas kopi yang kalian nikmati di kedai kopi.
Inilah cerita yang luput dari perhatian kita. Di balik viralnya brand dan janji manis ada jeritan hati para petani yang nggak terdengar. Ini bukan cuma soal kopi, bukan cuma soal asam lambung tapi ini soal nasib petani, soal keberlanjutan sebuah komoditas dan soal masa depan yang akan kita wariskan.
Mari kita mulai dari klaim utama. Kopi aman untuk penderita asam lambung. Apa benar hanya kopi Bondowoso? Dan apa sebenarnya rahasia di baliknya? Secara ilmiah yang menyebabkan kopi bisa memicu asam lambung adalah kadar keasamannya.
Kadar keasaman inilah dipengaruhi oleh dua hal yaitu varietas kopi dan cara pengolahannya. Pertama, varietas. Ada banyak jenis kopi di Indonesia tapi yang paling umum adalah kopi Arabica dan kopi Robusta.
Dasarkan penelitian di Jurnal Food Research Internasional kopi Arabica secara alami memiliki tingkat keasaman yang lebih rendah dibandingkan dengan kopi Robusta. Hal tersebut juga dikuatkan dari beberapa jurnal ilmiah yang menunjukkan bahwa tingkat keasaman Arabica lebih rendah daripada Robusta. Kedua, proses pengolahan.
Ini yang paling penting. Dari mulai biji kopi dipaneng hingga disangrai semuanya mempengaruhi tingkat keasaman. Biji kopi yang dipaneng matan sempurna dan disangrai dengan teknik yang tepat apalagi hingga medium to dark roast akan memiliki tingkat keasaman yang lebih rendah.
Dark roast bisa mengurangi asam klorogenat hingga 50% dibandingkan sangrai ringan. Jadi, claim power press tentang kopi Bondooso itu sebenarnya cerminan dari kesuksesan para petani di sana yang sudah menerapkan praktek yang baik. Mereka tidak hanya menanam, tapi juga mengolah dengan benah.
Sekarang, mari kita pindah ke isu yang lebih serius. Tadi saya sampaikan menyinggung tentang nasi petani. Saat kita rame-rame membahas kopi dan asam lambu ada fakta pahit yang terjadi di tingkat petani.
Kalian tahu? Harga secangkir kopi di kafe-kafe besar di kota itu bisa mencapai Rp25.000 hingga Rp50.000. Tapi tahu nggak? Berapa harga biji kopi yang dibayar ke petani kita? Data menunjukkan bahwa harga kopi di tingkat global seringkali berfluktuasi kadang naik dan kadang turun. Saat ini, harga kopi Arabica mentah di tingkat petani di Indonesia berada di kisaran Rp52.000 hingga Rp68.000 per kilogram. Sedangkan kopi Robusta di kisaran Rp30.000 hingga Rp35.000. Sekarang mari kita hitung-hitungan seberhana.
Satu kilogram biji kopi itu bisa menghasilkan 70 hingga 100 cangkir kopi. Seandainya menggunakan biji kopi Arabica, biaya biji kopi untuk satu cangkir itu mungkin hanya sekitar Rp680 hingga Rp750. Itulah jurang yang sangat besar.
Rp750 kurang dari Rp1.000. Padahal di kota-kota besar, secangkir kopi bisa dijual dengan harga berkali-kali lipat dari harga biji kopi itu sendiri. Tadi kita sudah lihat betapa tingpangnya harga kopi di kafe dan di tingkat petani. Lalu pertanyaannya adalah mengapa bisa terjadi kesenjangan yang begitu besar? Meskipun sudah cukup banyak petani yang membentuk kelompok atau bergabung dengan komunitas, tapi masih banyak juga petani yang terlibat dalam praktik penjualan kopi secara tradisional, yaitu rantai pasok yang panjang.
Bayangkan perjalanan biaya kopi dari pohon sampai ke cangkir kopi Anda, itu tidak sesederhana yang dibayangkan. Ini melibatkan sebuah jalur yang panjang dan berliku. Awalnya ada petani yang memanen biji kopi, ia tidak punya pilihan lain selain menjual biji mentah ini ke pengepul desa.
Pengepul desa lalu menjualnya ke pengepul di tingkat kecamatan. Dari situ biji kopi berpindah lagi ke pedagang besar, baru kemudian ke pabrik pengolahan atau eksportir. Di setiap tahapan ini ada margin yang diambil.
Para petani kita yang seharusnya menjadi pemilik utama justru hanya mendapatkan remah-remah. Mengapa mereka tidak bisa memotong rantai ini? Mungkin banyak dari petani kita yang memiliki keterbatasan akses. Keterbatasan akses terhadap informasi harga pasar, keterbatasan akses modal, dan keterbatasan akses ke pembeli besar.
Di sinilah para pengepul menjadi sangat krusial tapi juga sangat dilematis. Di satu sisi pengepul adalah tanda kutip penyelamat bagi petani yang butuh uang tunai secara cepat. Tapi di sisi lain pengepul juga lah yang seringkali menjadi penentu harga.
Membuat petani tidak memiliki daya tawar sama sekali. Inilah fakta pahit di balik kopi nikmat yang kita minum. Ada sebuah sistem yang membuat petani kita tercebat dalam lingkaran kemiskinan, meskipun mereka menghasilkan komunitas yang nilainya terus meningkat di pasar global.
Lantas apa solusinya? Apakah kita harus terus pasrah dengan kondisi ini? Tentu tidak. Ada beberapa strategi yang bisa kita lakukan. Yang pertama adalah branding dan hilirisasi.
Kisah kopi Bondowoso yang viral berkat pernyataan Pak Wapres adalah bukti nyata betapa pentingnya branding. Kopi kita punya identitas, punya cerita. Kita harus mengolah biji kopi kita sendiri, mengemasnya dengan apik, dan menjualnya langsung ke konsumen.
Kementerian Perindustrian mencatat nilai ekspor kopi olahan dalam bentuk bubuk dan siap seduk tumbuh 15 persen per tahun dan bisa meningkatkan nilai jual 3-5 kali lipat. Dengan begitu, kita bisa meningkatkan nilai jual dan memberikan harga yang layak bagi petani melalui hilirisasi. Kedua adalah sertifikasi dan standardisasi.
Untuk menembus pasar internasional, kopi kita harus memiliki standar kualitas yang harus diakui dunia. Kopi berstertifikat fair trade atau organik bisa dijual 10 hingga 30 persen lebih mahal. Hal ini tidak hanya akan meningkatkan harga jual, tapi juga membangun kepercayaan konsumen.
Jadi, dibalik perdebatan sederhana tentang kopi dan asam lambung, ada pelajaran berharga yang bisa kita ambil. Kita harus melihat industri kopi ini secara kutuh dari hulu ke hilir. Ketika nanti kamu minum kopi, coba luangkan waktu sejenak.
Mari kita pikirkan, siapa petani dibalik cangkirmu? Apakah dia sudah mendapatkan harga yang layak?